Regulasi Pemilu Terhadap Penyelenggara Ad Hock Harus Tegas
Regulasi Pemilu Terhadap
Penyelenggara Ad Hock Harus Tegas
*Catatan
Evaluasi Pemilu Serentak Rabu 17 April 2019.
Pendahuluan
Salah satu
pelaksanaan kedaulatan rakyat diantaranya adalah terselenggaranya pemilihan
umum (selanjutnya disebut pemilu). Ketentuan mengenai pemilu diatur di dalam
Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 22E ayat (1)
sampai dengan ayat (6). Adapun bunyi pasal tersebut yaitu: (1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali, (2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil
Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, (3) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik, (4) Peserta pemilihan umum untuk memilih Dewan
Perwakilan Daerah adalah peseorangan, (5) Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang
bersifat nasional, tetap dan mandiri, (6) Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-
undang. Menurut Sri Soemantri M., landasan berpijak mengenai pemilu yang
mendasar adalah demokrasi pancasila yang secara tersirat dan tersurat ditemukan
dalam pembukaan UUD 1945, paragraf keempat[1]
Terdapat beberapa asas yang
menjadi pedoman dalam pelaksanaan pemilu. Adapun asas- asas tersebut adalah :
a)
asas langsung, yang berarti seorang pemilih
harus memilih secara langsung, tidak boleh diwakilkan oleh siapapun.
b)
asas umum, yang berarti setiap warga negara
memiliki hak yang sama, yaitu hak untuk memilih dan dipilih.
c)
asas bebas, pada asas bebas di sini mengandung
makna bebas dalam memilih, tanpa adanya paksaan dari apapun dan siapapun.
d)
asas
rahasia, di sini mengandung artian setiap orang yang menggunakan hak suaranya
akan dijamin kerahasiaannya terhadap apa yang dipilihnya.
e)
asas jujur, dalam asas jujur di sini mengandung
arti bahwa semua yang terlibat di dalam pemilu haruslah jujur. Dalam penggunaan
asas jujur ini dilakukan dari awal hingga akhir pada proses pemilu.
f)
asas adil, mempunyai arti bahwa semua yang
terlibat dalam pemilu haruslah memiliki hak yang sama. Asas- asas tersebut
terdapat dalam Pasal 22E ayat (1) Undang- Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
Kepastian hukum serta integritas proses dan hasil pemilu, merupakan
tanda dari proses penyelenggaraan pemilu yang demokratis. Salah satu bentuk
kepastian hukum Pemilu di Indonesia terakomodir dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
UU Pemilu telah disahkan Presiden Joko Widodo pada
tanggal 15 Agustus 2017 dan diundangkan pada tanggal 16 Agustus 2017 oleh
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum disetujui dalam Rapat Paripurna DPR-RI
tangal 21 Juli 2017 ini terdiri atas 573 Pasal, Penjelasan dan 4 Lampiran. 414
halaman Batang Tubuh UU Pemilu 2017 dan 127 Penjelasan UU No. 7 tahun 2017
tentang Pemilu.
UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum
UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
menyatakan dalam Pasal 570 bahwa peraturan yang berkaitan dengan pemilu yang
sudah diputuskan sebelumnya masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
UU 7 / 2017. Antara lain tentang Pemilu sebagai berikut:
1.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4924);
2.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5246); dan
3.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2012 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5316),
Ada banyak
perbedaan UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dengan Undang-Undang
terkait yang berlaku sebelumnya. Seperti UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggaraan Pemilihan Umum dan UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum
Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Perbedaan mendasar adalah bahwa pelaksanaan Pemilu
Presiden dan Wapres serta Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD yang dulunya
terpisah sekarang dilaksanakan secara bersamaan, disebutlah dengan sebutan Pemilu
Serentak.
Perubahan
juga terdapat dalam struktur Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) yang dulu 5
orang, sekarang menjadi 3 orang.
Sementara untuk Panwaslu yang dulu 3 orang, berubah menjadi 5 orang. Selain
ketentuan-ketentuan yang lebih rinci untuk KPU, Bawaslu hingga ketentuan
Partisipasi Masyarakat dalam Pemilu juga mengalami perubahan.
Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilihan Umum memberikan kewenangan pada Komisi Pemilihan Umum (KPU)
untuk membentuk Peraturan KPU sehingga jalannya proses penyelenggaran pemilu
lebih demokratis. Dalam pelaksanaan
pemilu serentak rabu 17 april 2019 ada beberapa catatan yang menurut penulis terkait
electroral laws yang menjadi catatan penting untuk kita ketahui bersama terkait
perubahan jumlah penyelenggara KPU , PPK dan PPS dari 5 orang menjadi 3 orang.
Dalam tulisan ini penulis fokus pada penyelenggara ad hock di tingkat kecamatan
yaitu Panitia Pemungutan Suara Kecamatan (PPK).
Penyelenggara Pemilu Ad Hock
Penyelenggara
ad hoc yang dimaksud meliputi tiga kelompok, yaitu Panitia Pemungutan Suara
Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan Kelompok Penyelenggara
Pemungutan Suara ( KPPS). Ketiganya diatur dalam Pasal 51 dan
Pasal 72 Undang-undang Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pemilu. PPK dibentuk untuk bertugas di tingkat kecamatan. Setiap
kecamatan memiliki tiga anggota PPK. Sedangkan PPS bertugas di tingkat
kelurahan/desa. Masing-masing kelurahan/desa memiliki tiga anggota PPS. Baik
PPK maupun PPS dibentuk oleh KPU Kabupaten/Kota, paling lama 6 bulan sebelum
Pemungutan suara. Mereka dibubarkan paling lambat 2 bulan setelah pemungutan
suara.
Panitia
Pemilihan Kecamatan yang selanjutnya disingkat PPK adalah panitia yang dibentuk
oleh KPU Kabupaten/Kota untuk melaksanakan Pemilu di tingkat kecamatan.
Adapun tugas, Wewenang dan Kewajiban PPK
menurut UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu
adalah sebagai berikut:
Pasal 51
(1) PPK dibentuk untuk menyelenggarakan Pemilu di tingkat
kecamatan.
(2) PPK berkedudukan di ibu kota kecamatan.
(3) PPK dibentuk oleh KPU Kabupaten/Kota
paling lambat 6 (enam) bulan sebelum Penyelenggaraan Pemilu dan dibubarkan
paling lambat 2 (dua) bulan setelah pemungutan suara.
(4) Dalam hal terjadi penghitungan dan
pemungutan suara ulang, Pemilu susulan, dan Pemilu lanjutan, masa kerja PPK
diperpanjang dan PPK dibubarkan paling lambat 2 (dua) bulan setelah pemungutan
suara.
Pasal 52
(1) Anggota PPK sebanyak 3
(tiga) orang berasal dari tokoh masyarakat yang memenuhi syarat berdasarkan
Undang-Undang ini.
(2)
Anggota PPK diangkat dan diberhentikan oleh KPU Kabupaten/Kota.
(3)
Komposisi keanggotaan PPK memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit
30% (tiga puluh persen).
(4)
Dalam menjalankan tugasnya, PPK dibantu oleh sekretariat yang dipimpin oleh
sekretaris dari aparatur sipil negara yang memenuhi persyaratan.
(5)
PPK melalui KPU Kabupaten/Kota mengusulkan 3 (tiga) nama calon sekretaris PPK
kepada bupati/walikota untuk selanjutnya dipilih dan ditetapkan 1 (satu) nama
sebagai sekretaris PPK dengan keputusan bupati/walikota.
Pasal 53
1)
PPK bertugas:
a)
melaksanakan semua tahapan Penyelenggaraan
Pemilu di tingkat kecamatan yang telah ditetapkan oleh KPU, KPU Provinsi, dan
KPU Kabupaten/Kota;
b)
menerima dan menyampaikan daftar pemilih kepada
KPU Kabupaten/Kota;
c)
melakukan dan mengumumkan rekapitulasi hasil
penghitungan suara Pemilu anggota DPR, anggota DPD, Presiden dan Wakil
Presiden, anggota DPRD Provinsi, serta anggota DPRD Kabupaten/Kota di kecamatan
yang bersangkutan berdasarkan berita acara hasil penghitungan suara di TPS dan
dihadiri oleh saksi Peserta Pemilu;
d)
melakukan evaluasi dan membuat laporan setiap
tahapan Penyelenggaraan Pemilu di wilayah kerjanya;
e)
melaksanakan sosialisasi Penyelenggaraan Pemilu
dan/atau yang berkaitan dengan tugas dan wewenang PPK kepada masyarakat;
f)
melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh KPU,
KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan
g)
melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
2)
PPK berwenang:
a)
mengumpulkan hasil penghitungan suara dari
seluruh TPS di wilayah kerjanya;
b)
melaksanakan wewenang lain yang diberikan oleh
KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
c)
melaksanakan wewenang lain sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
3)
PPK berkewajiban:
a)
membantu KPU, KPU Provinsi, dan KPU
Kabupaten/Kota dalam melakukan pemutakhiran data pemilih, daftar pemilih
sementara, dan daftar pemilih tetap;
b)
membantu
KPU Kabupaten/Kota dalam menyelenggarakan Pemilu;
c)
menindaklanjuti dengan segera temuan dan laporan
yang disampaikan oleh Panwaslu Kecamatan;
d)
melaksanakan kewajiban lain yang diberikan oleh
KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota sesuai dengan peraturan
perundang-undangan; dan
e)
melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Melihat
tugas, wewenang dan kewajiban PPK sebagaimana tercantum dalam Pasal 53 tersebut
diatas tidak logis apabila dikerjakan hanya dengan tiga orang anggota PPK saja.
Menggingat pemilu serentak kali ini adalah pemilu dengan menggunakan 5 kotak
suara yang di klaim sebagai pemilu serentak terbesar sepanjang sejarah republik
indonesia dimana beban dan tanggung jawab penyelenggara akan semakin besar dari
pemilu-pemilu sebelumnya , sejumlah anggota KPU dan PPK mengajukan permohonan
uji materi UU nomor 7 tahun 2017 ke Mahkamah Konstitusi, menyangkut jumlah
anggota KPU kabupaten/kota dan PPK. permohonan uji materil undang-undang nomor
7 tahun 2017 mengenai jumlah anggota KPU kabupaten/kota dan anggota PPK
tersebut, oleh Mahkamah Konstitusi dikabulkan dan ditetapkan jumlah anggota KPU
kabupaten/kota dan jumlah anggota PPK untuk tahapan Pileg dan Pilpres tahun
2019, tetap berjumlah lima orang. Dan terbitlah Putusan MK Nomor 31/PUU-XVI/2018
yang mengabulkan sejumlah pemohon agar jumlah anggota PPK dikembalikan seperti
semula, dari tiga menjadi lima orang, tentu ini sebagai keputusan yang dinilai
sangat tepat menggigat tahapan pemilu sudah berlangsung.
Mahkamah konstitusi (MK) juga
memutuskan bahwa aturan tiga orang untuk PPK tidak rasional dan bertentangan
dengan UUD 1945 pasal 22 E huruf (1) dimana MK menilai bahwa jumlah PPK 3 orang
dapat mengancam penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil. “jumlah anggota PPK
yang berkurang menjadi tiga orang dan dengan penambahan tugas serta perubahan
sistem pemilu, tentunya akan sangat sulit mewujudkan prinsip penyelenggaraan
pemilu yang profesional, akuntabel, efektif dan efisien,” kata hakim MK, Anwar
Usman
Pembahasan
Berbagai macam
undang-undang pemilu telah dibentuk di Indonesia. Pemilu diselenggarakan
berdasarkan undang-undang pemilu yang tidak hanya berisi penjabaran
prinsip-prinsip pemilu demokratis, tetapi juga harus mengandung adanya
kepastian hukum. Kepastian hukum dalam pengaturan pemilu akan terwujud apabila:
1.
semua aspek mengenai pemilu diatur secara komprehensif sehingga tidak terjadi
kekosongan hukum;
2.
semua ketentuan yang mengatur pemilu harus konsisten satu sama lain, sehingga
tidak terjadi kontradiksi antar-ketentuan atau antar peraturan;
3.
semua ketentuan harus mengandung arti yang jelas dan bermakna tunggal, sehingga
tidak terjadi ketentuan yang menimbulkan multitafsir; dan
4.
semua ketentuan yang dibentuk harus dapat dilaksanakan.
Dampak
Regulasi Pemilu Yang tidak Tegas berdasarkan catatan pemilu serentak di tahun
2019 ada beberapa poin yang menurut penulis sangat penting antara lain sebagai
berikut :
Dampak Positif
Sesuai dengan keputusan MK untuk
mengembalikan komposisi keanggotaan PPK ke dalam kondisi semula disambut gembira
oleh Penyelenggara Ad Hock , khususnya PPS yang berada di lini terdepan KPU.
Apalagi dalam sebulan pasca penetapan DPT yang tidak lepas dari peran serta PPK
untuk membantu PPS juga, dalam hal ini
meringankan beban penyelenggara pemilu dalam melakukan verifikasi faktual data ganda yang dipertanyakan oleh tim
pemenangan salah satu kandidat pasangan capres/ cawapres sebanyak 25 juta data
dan DP4 (Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu) dari Dirjen Dukcapil
Kemendagri yang berjumlah 31 juta data. Keberadaan PPK juga sangat memotivasi
bagian Mutarlih PPS , hasil analisis data itu diplenokan pada bulan November
2018 , Rapat Pleno DPT di setiap PPS Desa atau Kelurahan yang dihadiri oleh
PPS, PPDK dan perwakilan masyarakat maupun partai politik dan hasil rapat hari
ke dua dilakukan di tingkat PPK. Kesimpulannya dengan bertambahnya jumlah
anggota PPK dapat menjadi motivasi dan meringankan beban kerja penyelenggara
pemilu Ad Hock di tingkat bawah.
Dampak Negatif
Tahapan Penyelenggaraan Pemilu dipastikan
mengalami perubahan
Seringkali munculnya Peraturan KPU menyebabkan proses tahapan
penyelenggaraan pemilu mengalami perubahan sehingga menimbulkan pertanyaan
apakah Peraturan KPU menjamin kepastian hukum Pemilu, khususnya dalam Pemilu
Serentak 2019. PKPU yang menjadi dasar KPU dalam melaksanakan tahapan untuk
penyelenggara harus dilakukan perubahan tekait jadwal perekrutan serta
pelantikan penyelenggara Ad Hock yang bertambah sesuai dengan Putusan
MK Nomor 31/PUU-XVI/2018
Anggaran Pemilu Harus Direvisi
Untuk mensukseskan pelaksanaan pemilu serentak yakni Pilpres dan Pileg
2019, pemerintah melalui Kementerian Keuangan mengalokasikan anggaran sebesar
Rp25,59 triliun atau naik 61% dibanding anggaran Pemilu 2014 sebesar Rp15,62
triliun menurut Direktur Jenderal Anggaran (Dirjen Anggaran) Kementerian
Keuangan, seperti dikutip dari setkab.go.id, anggaran tersebut diatas belum
termasuk penambahan jumlah penyelenggara ad hock sesuai dengan keputusan Putusan
MK Nomor 31/PUU-XVI/2018, sehingga anggaran DIPA yang diterima KPU RI
harus dilakukan revisi di tingkat Esselon 1 untuk mengajukan perubahan dalam
rangka penambahan anggaran penyelengara pemilu yang bertambah jumlah
anggotanya.
Kepastian Hukum
Seringkali munculnya Peraturan KPU menyebabkan proses tahapan
penyelenggaraan pemilu mengalami perubahan sehingga menimbulkan pertanyaan
apakah Peraturan KPU menjamin kepastian hukum Pemilu, khususnya dalam Pemilu
Serentak 2019. Mengenai perubahan peraturan terkait jumlah penyelenggara Ad
Hock juga akan menjadi kegelisahan di tengah-tengah masyarakat apakah pemilu
serentak kali ini masih sesuai dengan asas Pemilu seperti yang diamanahkan oleh
UUD 1945 Pasal 22E ayat (1) sampai dengan ayat (6).
Kesimpulan
Untuk menambah jumlah anggota PPK harus mengubah undang-undangnya
dulu melalui judicial review, atau bisa juga pemerintah mengeluarkan perpu.
Dalam perubahan ini KPU Mengeluarkan surat Edaran Nomor
1373/PP.05-SD/01/KPU/KI/2018 Perihal Surat Edaran tentang proses penambahan
jumlah anggota PPK pada Pemilu Tahun 2019 Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
31/PUU-XVI/2018. Dalam surat tersebut dijelaskan juga terkait mekanisme
perekrutan penyelenggara pemilu untuk menyesuaikan jumlah 5 orang anggota PPK
di Kecamatan. Dalam hal ini menjadi
salah satu perhatian KPU untuk pemilu yang
akan mendatang, karena selain mengganggu tahapan yang sedang berlangsung dengan
diterbitkannya keputusan MK juga bisa melanggar asas-asas pemilu dikarenakan
para penyelenggara Ad Hock dengan jumlah yang tidak sesuai dengan tupoksinya dipastikan
tidak akan siap untuk melaksanakan Pemilu sebagaimana diamanahkan UUD 1945. Penguatan
PKPU menjadi salah satu solusi dalam menghadapi kekosongan hukum pemilu.
Diperlukan kebijakan dan profesionalisme KPU dalam merumuskan aturan dan
prosedur pemilu yang belum ada sama sekali diatur oleh Peraturan
Perundang-undangan.
[1]
Sri Sumantri M., “ Sistem Pemilu Dalam Ketatanegaraan Indonesia”,dalam Majalah
Persahi, Nomor Ketiga, Januari 1990
Komentar
Posting Komentar